It's Time to Change

Kita sering mendengar para da’i dan khatib menganjurkan kepada umat Islam untuk tidak menjual aqidahnya dengan kehidupan yang fana. Mereka biasanya mencontohkan umat Islam pinggiran yang mau menukarkan aqidahnya hanya dengan sekardus mie instant dan uang seratus ribu rupiah. Perlu diingat bahwa berbicara memang mudah akan tetapi mengamalkannya merupakan hal yang sulit. Para da’i tersebut dapat dengan mudahnya berceramah seperti itu dan merasa tidak akan pernah sudi menjual aqidahnya dengan mie Instant karena mereka perut mereka dalam keadaan kenyang.
Akan tetapi umat Islam pinggiran, besar kemungkinan mereka akan melakukannya karena mereka lebih membutuhkan makanan daripada hanya omelan (ceramah.ed) agar tetap bertaqwa yang sudah sering didengarkan. Saya dan rekan-rekan Assadullah pernah mampir ke sebuah desa miskin yang rata-rata penduduknya menggantungkan penghidupannya dari penjualan kelapa di depan rumah masing-masing.

Saat itu kami terpaksa mampir karena kami kehabisan air. Kami sedang dalam perjalanan menyusuri pantai Nampu-Sumbukan di Pacitan. Akhirnya kami singgah di rumah seseorang yang kami temui di tengah jalan, orang itulah yang menyediakan kami air. Sebagai balas budi kami memberikan kepada keluarga tersebut sejumlah mie instant. Ekspresi keluarga tersebut sangat senang. Ternyata keluarga tersebut jarang membeli mie karena penghasilannya perhari hanya dua belas ribu rupiah. Setelah mengetahui hal tersebut kami membagi-bagikan mie kepada beberapa penduduk desa. 

Dari kejadian di atas, bisa diambil kesimpulan bahwa umat Islam pinggiran tidak hanya butuh ceramah, akan tetapi juga membutuhkan bantuan secara materiil. Tidak heran jika para da’i kita kalah telak dengan missionaries yang menyebarkan agama mereka dengan mie. Da’i kita berdakwah hanya dengan ceramah, sedangkan mereka berdakwah plus bantuan. Hingga saat ini belum ada lembaga Islam yang bergerak di bidang dakwah dengan metode seperti missionaries.

Kalau ada pun tidak sebesar yang mereka punya, mereka terorganisir secara rapi hingga tingkat international. Mental umat islam adalah salah satu penyebab tidak adanya lembaga Islam sebesar Lion (lembaga missionaries tingkat internasional). Mental umat islam adalah mental-mental pengecut, sulit berkembang, dan mudah dengki terhadap orang lain. Banyak sekali fakta yang menunjukkan bahwa kebanyakan umat Islam pengecut. Di daerah Solo pernah ada lembaga yang bergerak di bidang dakwah.

Lembaga tersebut berdakwah dengan cara membantu umat islam pinggiran. Seiring berjalannya waktu, lembaga tesebut berkembang, setelah cukup besar, lembaga tersebut dikrecoki oleh umat islam yang dengki. Lembaga tersebut di katakan sebagai ladang bisnis. Akhirnya lembaga tersebut tidak jelas keadaannya. MTA contohnya, organisasi yang satu ini pada saat akan membangun gedung senilai milyaran rupiah langsung mendapatkan komentar yang tidak enak dari umat islam. MTA dikira mendapatkan bantuan dari AS, padahal yang membangun gedung tersebut adalah anaknya pak Sukino yang menjadi kontraktor di Jakarta. Banyak sekali umat islam yang akan maju akan tetapi umat islam yang lainnya menghancurkannya. Umat islam sekarang seperti kepiting-kepiting laut yang berada di ember yang siap menunggu gilirannya untuk di masak. Setiap ada kepiting yang hampir berhasil keluar, kepiting yang lainnya menyerertnya masuk ke ember. Akhirnya riwayat mereka bersama hanya berujung di piring santap.

Seharusnya kedengakian tersebut tidak diterjemahkan kedalam perbuatan seperti itu. Mereka seharusnya berlomba lomba untuk membuat yang lebih baik supaya dengan persaingan tersebut muncul lembaga-lembaga dakwah yang bermutu. Image yang sudah tertanam bahwa umat islam miskin juga berperan dalam menghambat kemajuan islam. Ada beberapa orang yang sering berkomentar yang tidak enak terhadap muslimin yang kaya. Akan tetapi, harta saja tidak cukup. Akan tetapi umat islam juga membutuhkan orang-orang yang berhati bersih. Sehingga tidak mudah tergoda oleh kenikmatan yang fana

Categories:

Leave a Reply